TEKNIK MEMBACA TEKS ARAB
Dengan PENDEKATAN SIMANTIK dan SEMIOTIK
MAKALAH
oleh:
Khoirotun Salafiah
Saeful Hana
Muhtar Yusuf
Marianto
Nur Afifah
Fitriani Muazziroh
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Banyak cara yang ditempuh agar seseorang memperoleh pengetahuan. Salah
satunya yang paling sering dilakukan adalah melalui membaca. Ini tampaknya
lebih menekankan pengertian membaca sebagai kegiatan seseorang untuk memperoleh
pengetahuan melalui sumber-sumber tekstual, seperti buku, artikel, koran dan
sebagainya, dengan menggunakan mata atau pandangan sebagai alat utamanya. Jika
diperluas lagi, pengertian membaca di sini sebenarnya tidak hanya persepsi
visual terhadap bentuk rangkaian kata-kata (verbal) tetapi juga dapat berbentuk
simbol-simbol lainnya, seperti angka, gambar, diagram, tabel yang di dalamnya
memiliki arti dan maksud tertentu.
Yang dimaksud membaca ialah menangkap pikiran dan perasaan orang lain
dengan perantaraan tulisan (gambar dari bahasa yang dilisankan). Tujuannya
ialah menangkap bahasa yang tertulis dengan tepat dan teratur. Seseorang dapat
mengenal suatu objek, ide prosedur konsep, definisi, nama, peristiwa, rumus,
teori, atau kesimpulan. Bahkan lebih dari itu, melalui aktivitas membaca seseorang
dapat mencapai kemampuan kognitif yang lebih tinggi, seperti menjelaskan,
menganalisis, hingga mengevaluasi suatu objek atau kejadian tertentu.
B. Rumusan masalah
1. Apakah pengertian
pembelajaran qiro’ah ?
2. Apa sajakah teknik dari
membaca teks arab ?
3. Bagaimanakah pemahaman
Al-qur’an dengan pendekatan simantik dan semiotik ?
BAB II
METODE-METODE PEMBELJARAN BAHASA
A. Pembelajaran qira’ah
Kata Qiro’ah berasal
dari akar kata qoro’a-yaqro’u, qiro’atan yang artinya membaca, bacaan. Secara bahasa kata ini berasal dari ayat pertama
dari wahyu Al-Qur’an, yakni “iqro”. Kata “iqro” dalam ayat tersebut adalah “fiil
amr” mengandung arti perintah untuk membaca. Perintah iqro’ ini dilanjutkan
dengan kalimat berikutnya yakni bismirobbikalladzi kholaq, kholaqol insane
min alaq. Yakni membaca dengan dasar atau kerangka “ismi rabb” (Allah
sebagai Rabb). Makna iqro’/qiro’ah dalam ayat tersebut bukan sebatas harfiah
yakni membaca suatu tulisan (saja), tetapi suatu perintah untuk membaca,
meneliti, dan memahami. Sedangkan obyek yang harus dibaca adalah tentang
manusia sebagai makhluk dan Allah sebagai kholiq (rabb). Jadi, perintah qiro’ah
menurut ayat tersebut mengandung makna proses membaca, meneliti (mengkaji)
dan memahami (mengenal) segalas sesuatu tanpa
batas. (Syaiful gala. 2005. Hal 134).
Membaca termasuk keterampilan pokok dalam pembelajaran bahasa disamping
keterampilan yang lain seperti mendengarkan, berbicara dan menulis. Dalam
pembahasan ini penulis mengemukakan beberapa teknik pembelajaran membaca untuk
pemula, tujuan pembelajaran membaca, ragam membaca, dan tema-tema lain yang
berkaitan dengan pembelajaran membaca.
B. Metode Pembelajaran Membaca
Dalam pembelajaran membaca terdapat beberapa teori dan
metode yang muncul dan berkembang. (Muhammad Ali Al-khuli. 2010 hal 107).
1.
Metode Harfiyyah
Guru memulai pelajaran
dengan mengajarkan huruf hija’iyyah satu persatu. Murid pun lambat dalam
membaca, karena siswa cenderung membaca huruf per huruf daripada membaca
kesatuan kata.
2.
Metode Sautiyyah
Dalam metode sautiyyah huruf diajarkan kepada siswa sebagai. Urutan
pengajaran ini dimulai dengan mengajarkan huruf berharkat fathah seperti dan
seterusnya, kemudian huruf berharkat dhammmah, selanjutnya huruf berharkat
kasrah dan sukun. Setelah itu lalu beralih ke pelajaran huruf berharkat
fathatani tanwan. Setelah itu lalu beralih ke pelajaran. Diantara kelebihan
metode ini adalah mengajarkan huruf dengan bunyinya bukan dengan namanya.
Namun, demikian ada juga kekurangannya diantaranya bahwa metode ini terkadang
menghambat kelancaran atau kecepatan membaca siswa, karena siswa terbisa
membaca huruf hijaiyyah.
3.
Metode Suku kata
Dalam metode ini siswa
terlebih dahulu belajar suku kata, kemudian mempelajari kata yang tersusun dari
suku kata tersebut. Untuk mengajarkan suku kata harus didahului oleh
pembelajaran huruf mad.
4. Metode
Kata
Metode kata ini memunyai landasan psikologis yang mengasumsikan bahwa siswa
mengetahui hal-hal yang umum dulu, kemudian berkembang mengetahui bagian-bagian
dari yang umum itu.
Dalam mengimplementasikan metode ini, guru memulai dengan menampilkan
sebuah kata disertai dengan gambar yang sesuai jika kata itu mungkin digambar,
kemudian guru mengucapkan kata itu beberapa kali dan diikuti siswa. Langkah
selanjutnya guru menampilkan kata tadi tanpa disertai gambar untuk dikenali dan
dibaca oleh siswa. Setelah siswa mampu membaca kata tersebut, baru kemudian
guru menganalisa dan mengurai huruf-huruf yang terkandung dalam kata tadi.
Metode kata ini
memiliki beberapa kelebihan
a. Sejalan dengan landasan psikologis pengetahuan visual manusia yang
dimulai dari hal-hal umum
b. Membiasakan siswa berlatih membaca cepat
c. Siswa memulai membaca satuan kata yang mempunyai arti
Metode ini mempunyai
kekurangan
a. Terkadang siswa lebih terfokus pada gambar daripada kata yang
diajarkan
b. Terkadang siswa hanya menebak dan mengira kata berdasarkan
gambar, bukan membaca yang sesungguhnya.
c. Jika kata yang diajarkan bentuknya sangat mirip, siswa
terkadang mengacaukannya.
5. Metode Kalimat
Prosedur pembelajaran membaca dengan metode ini adalah dengan cara guru
pertama kali menampilkan sebuah kalimat pendek di kartu atau di papan tulis,
kemudian membaca kalimat tersebut beberapa kali dan diikuti oleh siswa. Urutan
metode kalimat ini adalah dari kalimat ke kata kemudian ke huruf.
Kelebihan metode
kalimat ini adalah:
Sejalan dengan landasan
psikologis pengetahuan dimulai dari hal-hal umum menuju bagian-bagian yang
kecil
Metode ini
mengedepankan satuan kalimat atau kata yang bermakna
Membiasakan siswa
membaca satuan yang lebih besar dan memperluas pandangan
Kelemahan dari metode
ini:
Sedikit banyak menguras
tenaga guru dan membutuhkan guru yang terlatih, sementara ketersediaan guru
professional dalam bidang pembelajaran bahasa arab bagi orang asing sangat
terbatas.
6. Metode
Gabungan
Metode ini menggabungkan antara metode harfiyyah, sautiyyah, suku kata,
Metode kata, metode kalimat.
Tujuan Qira’ah
Adapun tujuan Qira’ah
adalah:
a. Membaca dengan tujuan penelitian
atau pengkajian.
b. Membaca dengan tujuan membuat rangkuman
atau kesimpulan.
c. Membaca dengan tujuan memberi
rangkuman.
d. Membaca dengan tujuan refreshing dan
memcari hiburan.
e. Membaca dengan tujuan ibadah.
Kesulitan-kesulitan
Qira’ah
Para pembelajar pemula sering kali menghadapi beberapa kesulitan
dalam membaca, diantaranya:
a. Kesulitan bunyi atau pengucapan
b. Perbedaan tulisan arab
c. Lambat dalam membaca
d. Membaca nyaring
e. Kosa kata
Meningkatkan kemampuan
membaca
Ada beberapa strategi yang bisa digunakan guru untuk meningkatkan
kemampuan membaca dan pemahaman siswa.
a. Penggunaan kamus
b. Menenal huruf za’idah
c. Meningkatkan kecepatan membaca
d. Menyusun alinea
Langkah-Langkah Pembelajaran denganMetode Qiroah
1. Guru membacakan
beberapa kalimat dan jumlah disertai penjelasan maknanya (dengan menggunakan
gambar, isyarah, gerakan, peragaan, dll), Setelah siswa paham kemudian guru
menggunakan kalimat atau jumlah dalam kominikasi praktis.
- Guru menyuruh siswa membuka buku dan
membacakan kalimat dan jumlah sekali lagi dan meminta siswa untuk
mengulang lagi.
- Siswa mengulangi kalimat dan jumlah secara bersama-sama, kemudian
kelas dibagi dua atau tiga kelompok, setiap kelompok diminta untuk
mengulang-ulang sampai akhirnya guru memilih siswa secara acak dan diikuti
oleh siswa lainnya.
- Setelah siswa memahami kalimat dan jumlah,
guru menampilkan teks sederhana dan menyuruh siswa membaca dalam hati
dalam waktu yang cukup.
- Setelah guru merasa bahwa siswa secara umum
telah selesai membaca guru meminta siswa menghadap ke depan dan membiarkan
buku tetap terbuka.
- Sebaliknya guru tidak memberi toleran waktu
bagi yang belum selesai dan membiarkan mereka mengulangi teks pada waktu
tanya jawab. Ini mendorong siswa untuk membaca cepat.
- Guru mengajukan pertanyaan seputar teks dan
buku tetap terbuka karena guru tidak menguji hafalan siswa serta guru
mempersilakan siswa mencari jawaban dalam teks.
- Sebaiknya pertanyaan urut berdasarkan
jawaban dalam teks sehingga dapat diketahui sampai batas mana.
- Hendaknya pertanyaan-pertanyaan yang
membutuhkan jawaban pendek.
- Jika salah satu siswa tidak bisa menjawab
pertanyaan hendaknya pertanyaan itu diberikan kepada siswa yang lain.
- Memotivasi siswa untuk menjawab pertanyaan
- Sebaiknya guru mem berhentikan pertanyaan
yang sekirannya membuat perhatian siswa melemah, waktu yang ideal untuk
Tanya jawab sekitar 20 sampai 25 menit.
- Setelah itu siswa mengulangi lagi bacaan
dengan membaca dalam hati, atau menyuruh siswa yang bagus bacaannya untuk
membaca dengan keras dan ditirukan oleh siswa yang lainnya.
- Terakhir mendorong siswa untuk mengajukan
pertanyaan yang jawabannya ada dalam teks untuk dijawab oleh
teman-temannya.
C. PENDEKATAN AL-QUR'AN DENGAN METODE
SIMANTIK DAN SEMIOTIK
1. Makna Dasar
Setiap kata memiliki karakteristik tersendiri dalam pandangan
dunianya (Weltanschauungnya). Dalam teori semantik, kata akan bisa dilacak
dengan mencari makna atau arti dari kata itu sendiri, ini yang dimaksud dengan
“Makna Dasar”. Makna dasar ini menjadi langkah awal dalam teori semantik untuk
mencari makna dari sebuah teks atau kata tertentu. Kata dasar dari sebuah kata
tertentu akan selalu melekat kapanpun dan dimanapun kata itu diletakkan. Dalam
konteks Alquran, kata dasar dapat diterapkan dengan memberikan makna dasar atau
kandungan kontekstualnya pada kata tertentu dalam Alquran, walaupun kata dasar
tersebut diambil dari luar konteks Alquran. Kata dasar dapat diteliti dengan
cara mencari makna kata tersebut secara leksikal dan meneliti dengan pandangan
historis perkembangannya, dengan cara ini otomatis akan mengetahuai
Weltanschauung kata tersebut. Kata Allah—sebagaimana yang sudah dicontohkan sebelumnya,
kata Allah akan menjadi contoh untuk teori semantik selanjutnya—memiliki Makna
Dasar tuhan atau dzat transendental, pemahaman ini berkembang sejak pra-Islam
sampai Islam turun. Makna dasar kata Allah akan melekat pada kata tersebut dan
tidak akan berubah meskipun dalam ruang waktu yang berbeda
2.
Makna Relasional
Setelah Islam datang, kata Allah mengalami pergeseran makna
konotatif dengan kosakata yang terdapat dalam konsep Islam (baca: Alquran).
Makna kata Allah setelah mengalami pergeseran memiliki konsep yang berbeda,
yaitu Tuhan yang bersifat monoteisme.Pergeseran itu terjadi karena ada
relasional yang menyertainya.Momen ini disebut dengan “Makna Relasional”. Makna
relasional menganalisa makna konotatif yang diberikan dan ditambahkan kepada
makna dasar yang sudah ada dengan meletakkan kata dasar tersebut pada posisi
tertentu, bidang tertentu, dan dalam relasi tertentu dengan kata-kata penting
lainnya dalam sistem tersebut. Dalam studi Alquran, makna relasional mengkaji
hubungan gramatikal dan konseptual kata fokus dengan kata yang lain dalam
posisi tertentu.
3.Struktur
Batin (Deep Structure)
Sebuah kata memiliki struktur yang banyak dan ada di tempat yang
berbeda. Meski demikian, makna kata tersebut selalu teratur dalam suatu sistem
atau sistem-sistem yang lain. Dalam bidang semantik, ini disebut dengan
“Struktur Batin”.Struktur batin (Deep Structure) secara general adalah
mengungkap fakta pada dataran yang lebih abstrak dan riil, sehingga fakta
tersebut tidak menimbulkan kekaburan dalam dataran manapun, dan semua ciri
struktural dapat diungkap dengan jelas ke permukaan. Analisis struktur batin
yang terdapat dalam Alquran secara definitif adalah mengungkap kecenderungan
kosakata dalam Alquran dalam ayat tertentu dengan konteks yang menyertainya
4.
Bidang semantik (Semantic Field)
Dalam bahasa ada banyak kosakata yang memilki sinonim, terlebih
dalam bahasa Arab. Aspek budaya terkadang juga masuk ke dalam aspek kebahasaan,
meski kosakata itu sama secara leterlek, namun penggunaannya berbeda. Bidang
semantik memahami jaringan konseptual yang terbentuk oleh kata-kata yang
berhubungan erat, sebab tidak mungkin kosakata akan berdiri sendiri tanpa ada
kaitan dengan kosakata lain. Alquran sering menggunakan kata yang hampir
memiliki kesamaan, namun memilki titik tekan tersendiri.
Semantik
merupakan istilah teknis yang menunjuk pada studi tentang makna.Semantik
berarti teori makna atau teori arti yakni cabang sistematik bahasa yang
menyelidiki makna. (Mansoer Pateda, 1989:12) Dalam bahasa lain Henry Guntur Tarigan
(1993: 7) menyatakan, semantik adalah telaah makna. Semantik menelaah lambang
–lambang atau tanda-tanda yang menyatakan hubungan makna yang satu dengan yang
lain, dan pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat.Oleh karena itu, semantik
mencakup makna kata, pengembangannya dan perubahannya.Suatu semantik terdiri
dari dua komponen (1) komponen yang mengartikan, yang berwujud bentuk-bentuk
bunyi bahasa, dan (2) komponen yang diartikan atau makna dari komponen yang
pertama itu.Kedua komponen ini merupakan tanda atau lambang, sedangkan yang
ditandai atau dilambangkan adalah sesuatu yang berada di luar bahasa yang lazim
disebut referen atau hal yang ditunjuk. (Abdul Chaer, 1995:2)
Pendekatan Semantik Ada tiga cara yang dipakai
oleh para linguis dan filusuf dalam usahanya menjelaskan makna dalam bahasa
manusia, yaitu :
(a)
dengan memberikan definisi hakikat makna kata, (b), dengan mendefinisikan
hakekat makna kalimat, dan (c), dengan menjelaskan proses komunikasi. Pada cara
yang pertama, makna kata diambil sebagai konstruk, yang dalam konstruk itu
makna kalimat dan komunikasi dapat dijelaskan Pada cara yang kedua, makna
kalimat diambil sebagai dasar, sedangkan kata-kata dipahami sebagai penyumbang
yang sistematik terhadap makna kalimat. Pada cara yang ketiga, baik makna
kalimat maupun makna kata dijelaskan dalam batas-batas penggunaannya pada
tindak komunikasi. ( Wahab, 1995: 9)
5. Pengertian Semiotik
Dari ayat ini, penulis akan mencoba memahaminya dari tinjauan
tafsir Semiotic yang bermain pada tataran tanda-tanda yang kemudian diartikan
menurut asumsi masing-masing kepala yang berbeda, dan juga akan mencoba melihat
dari tinjauan tafsir Hermeneutik yang beroperasi pada wilayah pemaknaan atas
teks yang ada.
Tafsir
Semiotic.
Perintis
awal semiotika adala Plato yang memeriksa asal-muasal bahasa dalam
Cratylus.Juga Aristoteles yang mencermati kata benda dalam bukunya Poetics dan
On Interpretation.Kata “Semiotika” barasal dari bahasa Yunani seme, seperti
dalam semeiotikos, yang berarti penafsir tanda.Sebagai suatu disiplin,
semiotika berarti ilmu analisis tanda atau studi tentang bagaimana sistem
penandaan itu berfungsi.
Tafsir
Semiotic merupakan penafsiran yang lebih melihat pada analisa tentang bagaimana
sistem penandaan berfungsi pada teks al-Qur’an, yang akan kami lakukan menurut
teori tiga tokoh semiotika terkemuka, yaitu Charles Peirce, Ferdinand de
saussure, dan Roland Barthes yang akan kami coba bahas satu persatu.
a) Semiotic Ferdinand de Saussure
Saussure dianggap sebagai bapak semiologi, dengan teori semiotiknya
yang terkenal dengan Struturalisme.Saussure mendefinisikan tanda linguistik
sebagai entitas dua sisi (dyad).Sisi pertama disebutnya dengan Penanda
(signifier).Penanda adalah aspek material dari sebuah tanda.Sebagaimana kita
menangkap bunyi saat orang berbicara.Bunyi ini muncul dari getaran pita suara
(yang tentu saja bersifat material). Sisi kedua adalah apa yang disebut
Saussure sebagai Petanda (signified). Petanda merupakan konsep mental, seperti
ketika kita menyebut kata ‘anjing” (yang disusun dari penanda a-n-j-i-n-g),
adalah apa yang terkesankan pada pendengar, bukanlah anjing yang sesungguhnya,
melainkan sebuah konsep tentang “keanjingan”, seperti bertaring, berkaki empat,
menggigit, ekornya selalu bergoyang, menggonggong dan suka kencing sembarangan.
Satu
hal yang sangat penting juga pada kajian Saussure tentang tanda linguistik
adalah adanya sifat Arbitrer (mana-suka) yang mengaitkan antara penanda dan
petanda.Dia menjelaskan bahwa pada dasarnya setiap fenomena bahasa (langange)
selalu dibentuk oleh dua faktor, yaitu Parole (ekspresi kebahasaan) dan Langue
(sistem pembedaan di antara tanda-tanda) yang kemudian terjadi semacam konvensi
yang tidak disadari yang membentuk sistim bahasa tersebut kemudian akhirnya
dipatuhi.Bahasa merupakan gabungan sintagmatis dari adanya gabungan penanda dan
petanda yang kemudian terdapat sinkronisasi yang bisa dipahami.
Dari
ayat diatas, pembahasan pokok dan menarik untuk kita kaji secara semiotik
adalah kata ترهبون yang secara akar bahasa berasal dari kata َرهِبَ yang diartikan
takut/gentar.Sedangkan kata ترهبون mayoritas mufassir mengartikan
menakut-nakuti. Lafadz ترهبون berposisi sebagai sebuah penanda karena
bersifat material, sedangkan petanda dari lafadz tersebut berupa konsep yang
muncul dari kata ترهبون bisa berupa tindakan
menakut-nakuti saja, dan bisa juga muncul konsep dalam benak kita yaitu
menakut-nakuti dengan adanya unsur goncangan dan mungkin juga menakut-nakuti
dengan adanya unsur teror. Karena menurut Saussure hubungan antara penanda ترهبون dengan petanda yang
berupa konsep “menakut-nakuti” itu bersifat mana suka atau arbitrer.
وأعدوالهممااستطعتممنقوةومنرباطالخيلترهبونبهعدوالله
Dan
ketika ayat tersebut disusun menurut sintagmatis secara lInear, maka timbullah
makna asosiatif paradigmatis yang berupa pikiran-pikiran yang menentukan makna
dari ayat tersebut. Yang akhirnya akan memunculkan berbagai makna berbeda
tentang bagaimana menggambarkan konsep “menakut-nakuti”, sesuai dengan konsep
masing-masing yang dipikirkan.
b) Semiotic Roland Barthes
Roland Barthes adalah seorang tokoh semiotika penganut madzhab
Strukturalisnya Saussure, jadi tidak jauh berbeda dengan konsep Strukturalis
ala Saussure yang tetap menganggap bahwa dalam tanda linguistik terdapat dua
sisi yang saling berhubungan, yaitu penanda yang diistilahkan oleh Barthes
dengan Expression, dan petanda yang diistilahkan dengan Content, kemudian
keduanya terjadi Relasi (hubungan) yang menimbulkan makna Denotasi atau makna
sebenarnya. Kesatuan expression yang berhubungan dengan content yang kemudian
menimbulkan makna denotasi disebut sebagai sistem I, sedangkan dari sistem I
ini kemudian berhubungan dengan content kedua yang akhirnya memunculkan makna
Konotasi atau makna tidak sebenarnya. Dan kesatuan proses tadi sampai timbulnya
makna konotasi kemudian disebut sitem II. Makna konotasi yang terus menerus
akan menjadi Mitos, dan mitos yang terus-menerus akan menjadi Ideologi.
Ketika
saussure hanya berhenti sampai pada hubungan penanda dan petanda, maka Barthes
meneruskan konsentrasinya pada makna konotasi yang timbul dari hubungan antara
kedua tanda linguistik tersebut. Jika content berubah-ubah dari expresi yang
tunggal, maka content-content tersebut dinamakan dengan makna Konotasi,
sedangkan jika content-nya tetap dan expresinya yang berubah-ubah, maka itu
dinamakan dengan Metabahasa.
Teori
ini jika kita terapkan pada ayat diatas adalah, tidak begitu jauh berbeda
dengan konsep penanda dan petanda ala Saussure.Seperti yang ada pada lafadz ترهبون ini berposisi menjadi
penanda yang dalam bahasa Barthes adalah expression atau ucapan, sedangkan
petanda yang berupa konsep yang dalam bahasa Barthes adalah content atau isi
adalah konsep tentang “menakut-nakuti”. Adanya hubungan antara expresi dan
content kemudian memunculkan makna denotasi yaitu makna menakut-nakuti yang
sesungguhnya.
Dari
makna denotasi tersebut, maka muncullah makna konotasi dari ترهبون yang bisa berupa
menakut-nakuti dengan teror statement, menakut-nakuti dengan pelecehan,
menakut-nakuti dengan ancaman, menakut-nakuti dengan penyerangan atau bahkan
menakut-nakuti dengan tindakan pengeboman.Maka semua itu dinamakan makna
konotasi. Dan jika content-nya tetap yaitu konsep tentang “menakut-nakuti”,
akan tetapi expresinya berbeda-beda, seperti kata menghujat, mengancam,
menghardik, meneror, menyerang, atau mengebom, maka hal tersebut dinamakan
metabahasa.
c) Semiotic Charles Peirce
Berbeda dengan apa yang diungkapkan Saussure yang meyakini bahwa
tanda memiliki dua sisi keterkaitan. Konsep semiotika yang dianut Peirce adalah
bahwa teori tanda dibentuk oleh hubungan tiga sisi.Tiga sisi hubungan tersebut
adalah Representamen (oleh Peirce disebut juga “tanda”) yang berhubungan dengan
Objek (sesuatu yang dirujuk oleh tanda atau representamen), yang dengan
hubungan tersebut membuahkan Interpretant (sesuatu yang dicerap oleh benak
kita, sebagai hasil penghadapan kita dengan tanda itu sendiri).
Wujud
Interpretant yang tersamar, memungkinkan ia menjelma menjadi
Tanda/Representamen baru. Dan hasilnya adalah satu mata rantai semiosis. Ini
menempatkan Interpretant dalam satu hubungan dengan Objek lain, yang pada
gilirannya akan melahirkan Interpretant baru. Interpretant ini nantinya
ditransformasi menjadi Tanda/Representamen yang berhubungan dengan Objek
berikutnya, yang mengakibatkan lahirnya Interpretant lain. Ini terus
berlangsung tanpa batas yang disebut dengan unlimited semiosis atau mata rantai
semiotika tanpa batas.
Aplikasi
teori Peirce ini pada contoh ayat diatas adalah, jika kita membahas lafadz ترهبون yang berposisi sebagai
Representamen/Tanda, kemudian tanda ini berhubungan dengan Objek yang berupa
”kekuatan militer”, maka akan membuahkan Interpretant berupa ”menakut-nakuti
dengan kesiapan kekuatan militer”. Ini merupakan hubungan tanda sederhana yang
dibentuk oleh tiga sisi
Dari
tiga sisi hubungan tanda ini, bisa menjadi mata rantai semiotika yang panjang
dan bahkan tanpa batas.Lafadz ترهبون yang menjadi Representament/Tanda
berhubungan dengan Objek berupa “kekuatan militer”, maka membuahkan
Interpretant berupa “menakut-nakuti dengan kekuatan militer”. Interpretant ini
ditransformasi menjadi Representament baru yang berhubungan dengan Objek berupa
“meneror”, maka membuahkan Interpretant baru berupa ”menakut-nakuti dengan
teror”. Interpretant ini ditransformasi menjadi Representament baru yang
berhubungan dengan Objek berupa “menyerang”, maka membuahkan Interpretant baru
lagi berupa ”menakut-nakuti dengan mengebom”, dan begitu seterusnya.
Maka
tidaklah suatu hal yang aneh jika dari ayat tersebut terjadi perbedaan pemaknaan
lafadz ترهبون yang berarti “menakut-nakuti”, tergantung
Objek yang dirujuk oleh masing-masing kepala. Para mufassir konvensional
mengkonsepsikan ترهبون dengan Objek “persiapan militer yang
kokoh”, maka timbullah Interpretant lafadz ترهبون adalah “menakut-nakuti
dengan kekuatan militer”. Berbeda dengan itu, kelompok kaum muslim radikal
mengkonsepsikan ترهبون dengan Objek “penyerangan”, maka timbullah
Interpretant lafadz ترهبون adalah “menakut-nakuti dengan
penyerangan”. Maka tidaklah mengherankan jika mereka melakukan tindakan
terorisme dengan melakukan pengeboman ataupun dengan cara lain, hal ini tidak
lain adalah karena perbedaan konsepsi Objek dari Representamen lafadz ترهبون
C. KESIMPULAN/PENUTUP
Semantik
merupakan istilah teknis yang menunjuk pada studi tentang makna.Semantik
berarti teori makna atau teori arti yakni cabang sistematik bahasa yang
menyelidiki makna. Pendekatan Semantik Ada tiga cara yang dipakai oleh para
linguis dan filusuf dalam usahanya menjelaskan makna dalam bahasa manusia, yaitu
: (a) dengan memberikan definisi hakikat makna kata, (b), dengan mendefinisikan
hakekat makna kalimat, dan (c), dengan menjelaskan proses komunikasi.
Dari
diskusi panjang diatas, dengan melihat corak penafsiran menggunakan pendekatan
semiotic maupun hermeneutik, dapat kita ketahui bahwa perbedaan penafsiran yang
ada adalah perbedaan persepsi yang dimilki oleh masing-masing penafsir dalam
memahami tanda ataupun teks yang ada, sehingga memunculkan keberagaman
pemahaman yang timbul. Ukuran yang digunakan bukanlah salah atau benar karena
sesuatu pemahaman itu relatif dan tidak bisa dihukumi, akan tetapi ukurannya
adalah tepat atau tidak tepat, setidaknya menurut penulis.
Dan
dari apa yang sedikit penulis lakukan diatas, adalah satu usaha kecil yang
berusaha untuk ikut untuk mengais setetes air di hamparan samudra al-Qur’an
yang teramat luas. Dengan segala keterbatasan kemampuan yang dimiliki, penulis
sangat mengharapkan untuk mampu melakukan kegiatan serupa dengan lebih
maksimal. Akhirnya demikianlah yang dapat penulis sajikan, semoga sedikit usaha
ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan lebih-lebih dapat memberikan
manfaat pada orang l
juan mampu berbicara secara baik
dan benar dalam bahasa target itu sendiri. Di dalam metode ini juga mempunyai
kelebihan dan kelemahan.
Dalam metode qiro’ah ini kita lebih memperhatikan cara atau metode bagaimana
peserta didik mudah dalam memahami apa yang telah kita jelaskan, dan kita
sebagai guru harus mencoba dan mencari metode-metode baru yang bisa membuat
mereka lebih cepat paham. Kalau semenjak dini kita sudah mengajari mereka cara
membaca yang cepat dan benar maka dengan sendirinya mereka akan selalu membaca.
Jika ini sudah terjadi maka bangsa kita akan maju karena bangsa majau yaitu
bangsa yang banyak membaca. Mereka akan membaca dalam setiap kesempatan
contohnya terlihat tidak hanya dalam perpustakaan umum dan peribadi tetapi juga
di stasiun, di kereta, dan dalam perjalananpun mereka membaca.
DAFTAR PUSTAKA
Gala, Syaiful. 2005. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung:
Alfabeta.
Ali Alkhuli, Muhammad. 2010. Strategi Pembeajaran
Bahasa Arab. Yogyakarta: Basan Publishing.
Ahmad Fuad, Metodologi Pengajaran
Bahasa Arab (Malang : Misykat, 2009), h. 67
Emzir, Metodologi
Pengajaran Bahasa Arab di SMU, h. 18
Ibid., h.66
Hamzah, Perencanaan
pembelajaran (Jakarta : Bumi Aksara, 2008), h. 47
Post a Comment